Puisi Yohan Mataubana
(Ilustrator: Joyken)
Dua Musim
Musim kemarau berlalu
tumpukan dedaunan disapu
entah angin atau tanganmu
bagai kenang di keningmu usai terbelenggu
Musim hujan datang
dengan langit amat muram
burung-burung pada guyur ke sini-ke sana
dan cemas menjelma pertanyaan: kita hendak tidur di mana?
Dua musim bertemu
mereka beradu dan mengusik perbincangan kamu dan tamu-tamumu
sedangkan aku akan datang sebagai debu kemarau
yang selalu memulangkan masa lalumu
atau sebagai hujan yang dingin di keningmu
Musim itu seperti tubuhmu
dan aku debu kekasihmu
Setiap kali tubuh ditanggalkan dari kekasihmu
maka cinta yang paling ditunggu adalah memasuki rongga dadamu
dan membiarkan kuncup itu berduka
Mikhael, 2020.
Janji Musim
Berjanjilah, sayang
hujan sore tadi
tak lebih dari rintihan matamu
bahkan burung sendiri tahu
rintiknya mengandung kamu
Berjanjilah, sayang
musim hujan sudah menindih ubun imanku
kemarilah dan ajarlah aku tidur dengan kepala penuh benih rindu
biar kelak berbuah syahdu
Berjanjilah, sayang
kepadaku saja
musim tanam telah tiba
tanamlah kata-kata cinta
sekuat mimpi berbaris melekat pada dadamu
Ledalero, 2020
Memo Musim
Rindu punya sebab
dedaunan hijau berubah tua
dan menanggalkan usianya
Rindu punya sebab
pohon -pohon dipandang
membiarkan angin berangan
Rindu punya sebab
angin yang tegar mengoyak pesan
dalam dadamu pelan- pelan.
Mikhael, 2020
Musim Jatuh di Omnibus Law
Kelak pesan musim telah jatuh
hujan akan turun dan membiarkan
Seluruhnya minum dalam dadamu
Sebab dadamu adalah ruang pengadilan
Hati serta nadi akan beradu
sebagai pro atau kontra di jalan raya,
di kantor - kantor, di sosial media
atau media massa
ketika batang tubuh penuh "Cipta Kerja"
Dan aku ingin membaca musim jatuh
mengusap mata sambil meniup nasib
“kita sama seperti salib:
dipaku oleh ajaran, ditindas oleh sumpah
dan berjanji menjadi ludah”
Maka tubuh adalah pengadilan negeri para sampah.
Bouma,2020
Jangan Pergi Musim
Jangan pergi musim
aku tak mau mengemis dihadapan gerimis
sebab orang – orang pun tak ingin sendiri
sayang, di Sakaristi hujan mengikis seperti puisi
lalu kau tak tahu mengapa mengoyak banyak sepi
Dalam kepalaku suaramu berderai menjelma ilusi
berkali- kali tumbuh menjadi kemarau yang parau
sementara kemarin bibirku adalah tempat berlabunya risau
mungkin kau pun pergi dari kemarau ini
seperti tanah lapang membela padang di hati.
Maumere,17/10/2020.
Biodata Penulis
Yohan Mataubana Lahir di Kupang_NTT 24 Juni 1998. Sedang bergiat membaca cara mencintai buku dan kursi yang baik, serta ingin menulis isi hati yang dibicarakan hati. Penulis adalah anggota Kelompok Menulis di Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero (KMKL) dan bergulat bersama sastra di komunitas Aletheia. Sudah menulis banyak hal dan hingga kini sedang merindukan puisi dan cerita –ceritanya tumbuh di kening pembaca.K Sementara ini penulis sedang menempuh pendidikannya di STFK Ledalero. FB: Yohan Mataubana, Ig : Yohanyohan97.
Komentar
Posting Komentar